Sejarah Taman Nasional Baluran
Sejarah Taman Nasional Baluran
Kawasan Baluran pertama kali mendapat perhatian konservasionis pada era kolonial Belanda tahun 1930-an. A.H. Loedeboer, seorang pemburu Belanda yang memiliki konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, mengakui potensi luar biasa kawasan ini. Kemudian, visinya tentang pentingnya perlindungan mamalia besar menjadi landasan konservasi modern di Jawa Timur.
Pada tanggal 23 Januari 1930, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan No. 83 sebagai langkah awal penetapan kawasan lindung. Direktur Kebun Raya Bogor, K.W. Dammerman, turut mendukung usulan penetapan sebagai hutan lindung. Selanjutnya, inisiatif ini menjadi tonggak sejarah konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia bagian timur.
Tahun 1937 menjadi momentum bersejarah ketika kawasan Baluran resmi ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Status ini memberikan perlindungan hukum pertama bagi ekosistem savana tropis yang unik di Pulau Jawa. Akibatnya, populasi banteng jawa dan spesies endemik lainnya mulai mendapat jaminan keamanan habitat.
Puncak pengakuan internasional terjadi pada 6 Maret 1980, ketika Baluran dideklarasikan sebagai Taman Nasional bersamaan dengan Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali. Penetapan final melalui SK Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 mengukuhkan luas kawasan 25.000 hektar. Dengan demikian, Baluran menjadi salah satu dari lima taman nasional pertama Indonesia yang diakui secara global.